Selasa, 10 November 2009

Pelaksanaan Wajib Belajar 9 Tahun

Pelaksanaan Wajib Belajar 9 Tahun

Program wajib belajar pendidikan dasar dilakukan baik melalui jalur sekolah maupun jalur luar sekolah. Program jalur sekolah meliputi program 6 tahun di SD dan program 3 tahun di SLTP. Pola-pola yang diterapkan di tingkat SD antara lain SD Reguler, SD Kecil, SD Pamong, SD Terpadu, Madrasah lbtidaiyah, Pondok Pesantren, SDLB, dan Kelompok Belajar Paket A. Sedang pola-pola untuk tingkat SLTP adalah SLTP Reguler, SLTP Kecil, SLTP Terbuka, SLTP Terpadu, Madrasah Tsanawiyah, MTs Terbuka, Pondok Pesantren, SLTPLB, SLB, dan Kelompok Belajar Paket B.

Dari pola-pola tersebut, yang menjadi Pola andalan adalah SLTP Reguler, SLTP Kecil, dan SLTP Terbuka. SLTP Reguler dan SLTP Kecil dikembangkan melalui pembangunan unit sekolah baru (UGS) dan penambahan ruang kelas baru (RKB). Untuk meningkatkan daya tampung, di daerah-daerah tertentu masih diterapkan sistem double shift (murid masuk pagi dan siang/sore hari). SLTP Terbuka dikembangkan untuk menampung siswa yang tidak dapat belajar secara reguler pada waktu tertentu. Pola ini lebih menekankan agar siswa belajar mandiri dan berkelompok melalui buku modul dan bimbingan guru pamong dan guru bina. Pada 2001 telah dikembangkan sebanyak 3.485 SLTP Terbuka.

Hasil Pelaksanaan Wajib Belajar

Pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun selama empat tahun pertama sejak dicanangkan menunjukkan hasil cukup memuaskan. jumlah siswa pendidikan dasar pada tahun 1994 sebanyak 36,44 juta orang (siswa SD+MI 29,46 juta dan siswa SLTP+MTs 6,98 juta) Pada tahun 1997, jumlah siswa pendidikan dasar meningkat menjadi 39,01 juta orang (siswa SD+MI 29,27 juta dan siswa SLTP+MTs 9,73 juta). Terjadinya krisis ekonomi memberikan dampak terhadap jumlah siswa pendidikan dasar. Pada tahun 1998, jumlah siswa pendidikan dasar. berjumlah 38,63 juta orang (siswa SD+MI 29,10 jutaan siswa SLTP+MTs 9,54 juta). Dilihat dari indikator angka partisipasi, kecenderungan keberhasilan wajib belajar menunjukkan pola yang sama dengan kecenderungan perkembangan jumlah siswa. Angka partisipasi kasar (APK) SD meningkat dari 110% pada tahun 1994 menjadi 113,58% pada tahun 1997. Sedangkan angka partisipasi murni (APM) meningkat dari 93% menjadi 94,96%. Sedangkan untuk tingkat SLTP, APK meningkat dari 53% pada tahun 1994 menjadi 72,56% pada tahun 1997, dan APM meningkat dari 39,9% menjadi 55,92%.

Krisis ekonomi terlihat berpengaruh terhadap APK dan APM pendidikan dasar. Pada tahun 1998, APK dan APM SD+MI masing-masing sebesar 113,74% dan 93,74%, dan untuk SLTP+MTs sebesar 71,92% dan 55,05%. Pada tahun 2000 dengan intervensi program Jaring Pengaman Sosial (JPS) APK dan APM SD + MI menjadi 112,63 % dan 94,48 %. Sedangkan APK dan APM SLTP/MTs masing-masing mencapai 72,47 % dan 55,71 %. Indikator siswa putus sekolah menunjukkan kecenderungan menurun pada tahun-tahun pertama pencanangan. Pada tahun 1994, jumlah angka putus sekolah SD mencapai 1,2 juta pertahun dan sekitar 454 ribu untuk SLTP. Pada tahun 1997, angka ini menurun menjadi 833 ribu untuk SD dan 365 ribu untuk SLTP. Sejak terjadinya krisis ekonomi jumlah angka putus sekolah membengkak menjadi 919 ribu untak SD (meningkat 86 ribu siswa) dan 643 ribu untuk SLTP (meningkat sebesar 278 ribu siswa).

Dilihat dari skala lokal, tingkat pencapaian angka partisipasi tiap propinsi bervariasi. Pada tahun 1994, hanya dua propinsi yang mencapai APK SLTP + MTs lebih darl 80% (tuntas pratama), yaitu DI Yogyakarta dan DKI Jakarta. Pada tahun 1997, jumlah propinsi yang mencapai batas minimal tuntas tersebut menjadi lima, yaitu DI Yogyakarta (116,54%), DKI Jakarta (102,61%), Bali (89,52%), Sumatera Barat (83,99%), dan Sumatera Utara (83,36%). Dilihat dari sisi yang lain, pada tahun yang sama, terdapat enam propinsi yang mempunyai APK wajib belajar 9 tahun di bawah 60%, yaitu; propinsi Kalimantan Barat (57,10%), Kalimantan Tengah (59,45%), Sulawesi Tengah (56,54%), Nusa Tenggara Barat (58,65%), Nusa Tenggara Timur (55,24%), dan Irian Jaya (52,34%).

Pada tahun 1998, posisi tingkat pencapaian wajib belajar 9 tahun berdasarkan propinsi ini masih relatif sama. Namun hampir semua propinsi mengalami penurunan tingkat APK SLTP + MTs (maksimal 1,54%), kecuali 7 propinsi yang mengalami kenaikan APK tetapi sangat minimal, yaitu DI Yogyakarta, Jambi, Bengkulu, Sulawesi Tenggara, Maluku, Bali, dan Irian Jaya. Terlepas dari angka prosentase siswa yang masuk sekolah (APK), terdapat tiga propinsi yang mempunyai angka penduduk absolut usia 13-15 tahun terbesar yang masih belum mendapatkan layanan pendidikan dasar, yaitu jawa Barat (I juta orang), Jawa Timur (600 ribu orang) dan jawa Tengah (525 ribu orang).

Masalah Pelaksanaan Wajib Belajar

Walaupun pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, khususnya pada empat tahun pertama sejak dicanangkan dapat dikatakan berhasil, namun terdapat sejumlah masalah, disamping masalah krisis ekonomi, yang harus mendapat perhatian di masa yang akan datang.
Masalah-masalah tersebut meliputi :

  1. Kurangnya daya tampung siswa SLTP, khususnya di daerah pedesaan, terpencil, pedalaman, dan perbatasan.
  2. Tingginya angka putus sekolah tingkat SD (919 ribu tahun 1998) dan tingkat SLTP (643 ribu).
  3. Rendahnya mutu pendidikan dasar yang diukur berdasarkan Nilai Ebtanas Murni (NEM) sebagai salah satu indikator mutu pendidikan.
  4. Rendahnya partisipasi sebagian kelompok masyarakat dalam mendukung wajib belajar, sebagai akibat adanya hambatan geografis, sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat.
  5. Koordinasi wajib belajar khususnya di tingkat daerah (propinsi, kabupaten, dan kecamatan) belum berjalan dengan efektif

Oleh karena itu, kebijakan, strategi dan program penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun yang akan datang hendaknya lebih memperhatikan ke empat faktor penghambat tersebut. Penuntasan Wajib Belajar Untuk menuntaskan wajar 9 tahun, sejumlah program esensial dan produktif perlu dilaksanakan, antara lain:

  1. Melanjutkan pembangunan unit sekolah baru (USB) dan ruang kelas baru (RKB) bagi daerah yang membutuhkan, khususnya di daerah pedesaan. Dalam pembangunan USB, pemetaan sekolah (school mapping) hendaknya menjadi perhatian utama untuk menghindari penutupan sekolah swasta kelas menengah ke bawah. Pembangunan RKB hendaknya memperhatikan faktor yang sama dengan tetap memberi perhatian dan bantuan kepada sekolah-sekolah swasta yang membutahkan.
  2. Memberdayakan dan meningkatkan mutu SLTP Terbuka yang telah dikembangkan pada tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dilakukan melalui konsolidasi dan perbaikan manajemen kelembagaan, peningkatan kualitas guru bina dan pamong, perbaikan mutu buku modul, perbaikan proses belajar mengajar, dan peningkatan dukungan dan kerjasama dengan masyarakat.
  3. Melanjutkan pengadaan guru-guru kontrak untuk mengatasi kekurangan tenaga guru di daerah-daerah yang membutuhkan. Namun demikian pengadaan guru kontrak tetap

Dilihat dari skala lokal, tingkat pencapaian angka partisipasi tiap propinsi bervariasi. Pada tahun 1994, hanya dua propinsi yang mencapai APK SLTP + MTs lebih dari 80% (tuntas pratama), yaitu DI Yogyakarta dan DKI Jakarta. Pada tahun 1997, jumlah propinsi yang mencapai batas minimal tuntas tersebut menjadi lima, yaitu DI Yogyakarta (116,54%), DKI Jakarta (102,61 %), Bali (89,52%), Sumatera Barat (83,99%), dan Sumatera Utara (83,36%). Dilihat dari sisi yang lain, pada tahun yang sama, terdapat enam propinsi yang mempunyai APK wajib belajar 9 tahun di bawah 60%, yaitu: Kalimantan Barat (57,10%), Kalimantan Tengah (59,45%), Sulawesi Tengah (56,54%), Nusa Tenggara Barat (58,65%), Nusa Tenggara Timur (55,24%), dan Irian Jaya (52,34%).

Pada tahun 1998, posisi tingkat pencapaian wajib belajar 9 tahun berdasarkan propinsi ini masih relatif sama. Namun hampir semua propinsi mengalami penurunan tingkat APK SLTP + MTs (maksimal 1,54%), kecuali 7 propinsi yang mengalami kenaikan APK tetapi sangat minimal, yaitu DI Yogyakarta, Jambi, Bengkulu, Sulawesi Tenggara, Maluku, Bali, dan Irian Jaya. Terlepas dari angka prosentase siswa yang masuk sekolah (APK), terdapat tiga propinsi yang mempunyai angka penduduk absolut usia 13-15 tahun terbesar yang masih belum mendapatkan layanan pendidikan dasar, yaitu Jawa Barat (I juta orang), Jawa Timur (600 ribu orang) dan jawa Tengah (525 ribu orang).

Masalah Pelaksanaan Wajib Belajar

Walaupun pelaksaaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, khususnya pada empat tahun pertama sejak dicanangkan dapat dikatakan berhasil, namun terdapat sejumlah masalah, di samping masalah krisis ekonomi, yang harus mendapat perhatian di masa yang akan datang. Masalah-masalah tersebut meliputi :

  1. Kurangnya daya tampung siswa SLTP, khususnya di daerah pedesaan, terpencil, pedalaman, dan perbatasan.
  2. Tingginya angka putus sekolah tingkat SD (919 ribu tahun 1998) dan tingkat SLTP (643 ribu).
  3. Rendahnya mutu pendidikan dasar yang diukur berdasarkan Nilai Ebtanas Murni (NEM) sebagai salah satu indikator mum pendidikan.
  4. Rendahnya partisipasi sebagian kelompok masyarakat dalam mendukung wajib belajar, sebagai akibat adanya hambatan geografis, sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat.
  5. Koordinasi wajib belajar khususnya di tingkat daerah (propinsi, kabupaten, dan kecamatan) belum berjalan dengan efektif

Oleh karena itu, kebijakan, strategi dan program penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun yang akan datang hendaknya lebih memperhatikan ke empat faktor penghambat tersebut. Penuntasan Wajib Belajar Untuk menuntaskan wajar 9 tahun, sejumlah program esensial dan produktif perlu dilaksanakan, antara lain:

  1. Melanjutkan pembangunan unit sekolah baru (USB) dan ruang kelas baru (RKB) bagi daerah yang membutuhkan, khususnya di daerah pedesaan. Dalam pembangunan USB, pemetaan sekolah (school mapping) hendaknya menjadi perhatian utama untuk menghindari penumpan sekolah swasta kelas menengah ke bawah. Pembangunan RKB hendaknya memperhatikan faktor yang sama dengan tetap memberi perhatian dan bantuan kepada sekolah-sekolah swasta yang membutuhkan.
  2. Memberdayakan dan meningkatkan mutu SLTP Terbuka yang telah dikembangkan pada tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dilakukan melalui konsolidasi dan perbaikan manajemen kelembagaan, peningkatan kualitas guru bina dan pamong, perbaikan mutu buku modul, perbaikan proses belajar mengajar, dan peningkatan dukungan dan kerjasama dengan masyarakat.
  3. Melanjutkan pengadaan guru-guru kontrak untuk mengatasi kekurangan tenaga guru di daerah-daerah yang membutuhkan. Namun demikian pengadaan guru kontrak tetap difokuskan pada pemenuhan kualifikasi dan kompetensi yang telah ditetapkan.
  4. Melanjutkan pengadaan buku mata pelajaran yang berkualitas sehingga rasio buku dan murid mencapai 1: 1 untuk setiap mata pelajaran. Oleh karena itu, berbagai kegiatan pokok perlu diperhatikan antara lain perbaikan/revisi buku teks, pengadaan buku berdasarkan analisis kebutuhan atau permintaan sekolah, dan pemberian grant untuk pembelian buku sehingga sekolah mendapatkannya secara tepat jumlah dan tepat waktu.
  5. Melanjutkan upaya peningkatan kualifikasi guru SLTP, sehingga secara berangsur-angsur mereka dapat mencapai tingkat pendidikan SI. Peningkatan kualifikasi ini dilakukan melalui kerjasama pemerintah dengan perguruan tinggi lokal yang memenuhi persyaratan kualitas yang ditetapkan atau melalui program jarak jauh.
  6. Meningkatkan bantuan bagi sekolah swasta yang mempunyai status akreditasi diakui dan terdaftar dalam pengadaan ruang kelas baru (RKB), buku dan alat pelajaran, dan tenaga kependidikan serta bantuan pendidikan dan pelatihan bagi tenaga pengajar dalam rangka peningkatan kompetensi mengajar di sekolah.
  7. Melanjutkan program jaring pengaman sosial di bidang pendidikan melalui program pemberian beasiswa bagi siswa SD dan SLTP yang kurang mampu, serta pemberian dana bantuan operasional (DBO) bagi sekolah-sekolah yang berada di kantong-kantong masyarakat miskin.
  8. Melakukan konsolidasi dan rekonseptualisasi SLTP Terpadu dan SLTP Kecil, agar kedua lembaga pendidikan ini lebih dapat meningkatkan kualitas pelayanan pendidikannya bagi warga masyarakat yang membutuhkan.
  9. Memperhatikan secara lebih serius penanganan anak usia sekolah 7-15 tahun yang merupakan target-target khusus wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, seperti anak-anak yang berasal dari daerah terpencil, anak-anak daerah kumuh, anak-anak jalanan, dan kelompok anak-anak lain yang masih belum terjangkau pelayanan pendidikan dasar.
  10. Meningkatkan koordinasi vertikal dan horisontal, khususnya antar unit terkait di daerah tingkat 11 dan di Kecamatan.
  11. Melibatkan partisipasi semua kekuatan, seperti pamong desa, tokoh masyarakat, organisasi kepemudaan dan kewanitaan, cendekiawan, dan usahawan, sehingga pelaksanaan penuntasan wajib belajar 9 tahun betul-betul merupakan gerakan sosial
Disamping program-program reguler tersebut di atas, beberapa program inovatif perlu dikembangkan antara lain :
  1. Penyediaan insentif bagi kelompok masyarakat yang mau mendirikan lembaga pendidikan dasar melalui bantuan bangunan, bantuan guru, dan bantuan buku dan alat pelajaran.
  2. Menjajaki kemungkinan pendirian unit sekolah baru (USB) di lingkungan pesantren diniyah (pesantren yang hanya menyelenggarakan sekolah keagamaan) berdasarkan kerjasama kemitraan. Sebagai misal, pesantren menyediakan tanah untuk dibangun dan menangani program ekstrakurikuler, sedangkan pernerintah menyediakan bangunan sekolah, tenaga guru, buku dan alat pelajaran, serta. biaya operasional.
  3. Pembukaan kelas-kelas jauh, khusus untuk daerah terpencil yang sulit dijangkau.